Sabtu, 03 November 2012

Belajar Dari Alam

Belajar Dari Alam

Posted by Small Fingers pada Maret 8, 2008
Belajar Dari Alam
Mita Zoelandari
belajar-dari-alam1.jpgDari seekor semut anak dapat belajar banyak hal sekaligus. Tak hanya soal biologi dan ilmu serangga, tapi juga ilmu sosial seperti kerjasama dan gotong royong. Mengajak anak menikmati dan mengamati alam dapat menjadi ritual yang menyehatkan, menyenangkan, dan menambah pengetahuan mereka. Kebersamaan orangtua dan anak dapat dibangun saat berjalan-jalan di taman. Bersamaan dengan itu orangtua dapat membahas dan mengkaitkan banyak hal dengan benda-benda yang ada di taman, seperti bunga, rumput, pohon, serangga, burung, kolam, sungai, tong sampah, dan lainnya.
Menurut Winarini Wilman, PhD, psikolog dari UI, usia dua tahun merupakan fase pra-operasional anak untuk dapat memahami simbol, hubungan sebab akibat, bagaimana berempati dengan lingkungan, dan kesadaran kemampuan berpikir. Secara kognitif anak sudah bisa belajar apa pun dan menerima informasi secara konkret, termasuk belajar dari fenomena alam atau lingkungan sekitar.
Catur Nurrochman Oktavian, Kepala Sekolah sub preschool Sekolah Alam Ciganjur, Jakarta Selatan, memaparkan, konsep belajar dari alam adalah mengamati fenomena yang terjadi secara nyata di lingkungan. Dan juga memanfaatkan apa yang tersedia di alam sebagai media belajar. Pada usia balita, anak dapat mulai diperkenalkan konsep berhitung. Misalnya, saat bermain bioskopbioskopan, anak diminta mengumpulkan 10 buah batu untuk ditukarkan satu tiket. Atau anak diminta menghitung jumlah tanaman sesuai dengan klasi.kasi jenisnya. “Melalui media alam, anak belajar konsep berhitung terlebih dulu dengan menjumlahkan, lalu baru belajar mengenal angka dan bilangan,” ujarnya.
Belajar melalui pengalaman dan fenomena alam akan membuat kemampuan berpikir anak kian terangsang. Anak membayangkan kembali apa yang dilihatnya lalu mempertanyakannya. Misalnya, ketika diajak ke kebun binatang anak akan mengamati polah laku binatang, rasa ingin tahu anak terpancing, dan kemudian bertanya, ”Ma, kenapa kuda nil senang bermain air?” Wina menyarankan agar orangtua memiliki pengetahuan yang cukup juga mengenai fenomena alam sehingga dapat memberikan jawaban yang tepat. Jika belum dapat menjawab, coba cari jawabannya bersama si kecil.
Segala keanekaragaman dan bahan pembentuk alam tidak dapat digantikan dengan bahan buatan manusia seperti bunga plastik. Anak tidak dapat menghentikan sensor momen mereka ketika melihat fenomena alam seperti kilauan sinar matahari menembus dedaunan, titik air di daun saat pagi hari (embun), suara dan gerakan pohon ketika ditiup angin, beragam warna menempel pada sayap kupu-kupu atau bereksperimen dengan air. Kelihatannya mungkin sepele tapi tidak bagi anak yang menganggap itu hal baru dan ajaib.
‘Keanehan’ ini dapat mendorong anak lebih semangat mengenal alam. Maka, berikan anak stimulasi yang berbeda, misalnya jika minggu ini mengeksplorasi taman dekat rumah, pekan depannya menjelajah kebun binatang. Sebuah studi menunjukkan anak yang terbiasa bereksperimen melalui alam berkemampuan lebih cepat mengingat kembali informasi dan kreatif saat memecahkan masalah.
Cara Mengenalkan Alam
Wina mengatakan, ketertarikan anak tergantung pada bagaimana cara orangtua mengenalkannya pada alam. Diawali dengan mengajak anak berjalan di taman atau kebun binatang, tunjukkan beragam hewan, bunga atau apa yang ada di sana. Pada usia dua tahun, anak pun lebih mudah menerima informasi karena melihat langsung dibanding melihatnya di buku. Atau saat anak mempelajari tanaman jeruk, coba rangsang indera penglihatan, perabaan, dan penciuman. Seperti mencium wangi daun dan buah Jeruk serta mengecap rasa jeruk.
Hal yang tidak dapat anak pelajari di dalam ruangan, dapat anak dapatkan di luar ruangan. Anak belajar membuat kesimpulan tidak hanya berdasarkan informasi yang diterima dari guru. Alam kaya akan pengetahuan sehingga anak dapat menguji apa yang diterimanya di kelas. Terdapat tiga tahapan yang dapat dilakukan anak untuk memudahkan masuknya informasi, yaitu mendengar, menulis atau menggambar lalu melihat dan melakukan percobaan sendiri. Misalnya, belajar tentang tanaman pisang, anak bisa mengeksplorasi batang misal permukaan dan bentuk batang , buah atau daunnya. Kegiatan ini dapat dilakukan mulai umur 4 sampai 12 tahun.
Seiring perkembangannya, ajak anak melakukan observasi di lapangan misalnya mengamati, menyentuh atau meraba dan menganalisa. Misalnya, belajar mengenal bagian-bagian dari tumbuhan, misalnya daun, akar, batang, kelopak, dan sebagainya. Tak hanya itu, paparkan pada anak masing-masing fungsinya dan bentuknya yang beragam sehingga anak belajar mengenal apa yang ada di alam melalui semua inderanya. Anak punya cara yang unik dan eksperimental untuk mengenal dunia sebagai tempat indah, misterius dan ajaib. Sehingga lingkungan alam bisa berkaitan langsung dengan perkembangan anak dan caranya dengan perkembangan anak dan caranya mengeksplorasi sesuatu. Tumbuhan yang tumbuh di tanah, pasir dan air, merupakan sesuatu yang nyata dan bukan bohongan. Anak bisa belajar menanam pohon di tanah liat, tanah berpasir atau tanah dengan pupuk dan mengamati perkembangan pohon tersebut sehingga timbul kesimpulan, tanah mana yang cocok untuk menanam tumbuhan. Alam membuat anak berpikir lebih kreatif dengan mencoba sesuatu yang berbeda-beda.
Semakin kompleks dan beragamnya hal yang ditawarkan alam, maka anak bisa semakin tertantang dan lebih kompleks lagi mempelajarinya. Seperti, anak tertarik pada tumbuhan karena tumbuhan memiliki campuran warna, bentuk, tekstur, keharuman dan kelembutan yang membuat anak nyaman, misal bunga-bungaan. Hal ini juga membantu kesehatan emosinya. Saat mempelajari alam sebaiknya anak didampingi orang dewasa, misalnya orangtua atau guru. Tak cuma itu, orang dewasa tersebut juga diharapkan memiliki pandangan dan tindakan yang positif terhadap alam. Sehingga anak akan termotivasi untuk mencontoh, misalnya ketika Anda dan si kecil piknik bersama di Kebun Raya. Ketika selesai makan buanglah sampah pada tempatnya. “Sekali-kali ajak anak ke sungai yang dipenuhi sampah dan sungai yang bersih, minta dia menyimpulkan. Beritahukan juga, tersumbatnya aliran sungai dapat mengakibatkan banjir,” kata Catur.
Saat anak belajar di alam terbuka, kecelakaan mungkin bisa terjadi. Oleh sebab itu Wina mengingatkan, agar orangtua memperhitungkan kondisi medan penjelajahan anak sesuai dengan perkembangan anak. Sebaiknya orangtua mengobservasi lingkungan dulu. Pastikan tidak ada binatang yang berbahaya, misalnya ular. Atau benda-benda yang dapat membahayakan anak seperti terlalu banyak kerikil, bebatuan atau beling. Agar anak nyaman, beri pakaian yang mendukung aktivitasnya yang disesuaikan dengan cuaca, jangan terlalu ketat, dan bahan yang menyerap keringat. Pilih sepatu yang menutupi seluruh kaki dan nyaman dipakai. Sebelum berangkat menjelajah, ingatkan agar anak tidak sembarangan memegang atau memakan benda-benda di sekitarnya, karena ada daun atau bunga yang beracun.
Lingkungan luar ruangan ini juga penting bagi perkembangan pribadi anak, yaitu kemandirian. Anak belajar meningkatkan kewaspadaannya saat berkegiatan di alam terbuka. Mulanya Anda bisa membuntuti setiap gerak-geriknya. Namun, jika lingkungan sudah sangat dikenal dan anak dinilai mampu menjaga dirinya, Anda bisa melonggarkan pengawasan dengan mengamatinya. Catur mengamatinya. Catur berpendapat, salah satu kegiatan yang mewakili penjelajahan alam adalah Kegiatan outbound. Aktivitas ini menuntut keberanian anak, yaitu berani mengambil keputusan dan menghadapi risiko serta berdisiplin. “Cara lainnya orangtua juga bisa memberikan anak pengetahuan melalui . Film dokumenter atau buku, namun tetap dampingi dan beri penjelasan agar anak mengerti,” katanya.
Tujuan belajar dari alam agar anak belajar mengenal, dan menyayangi lingkungan sekitarnya dan ciptaan Tuhan lainnya. Misalnya, ketika anak belajar memelihara ikan hias banyak hal yang dapat dipelajari seperti mengapa ikan bisa berenang, dan berikan kasih sayang ketika memberi makan atau membersihkan akuarium. Anak juga akan belajar disiplin dengan memberi makan binatang kesayangannya tepat waktu. “Tumbuhkan rasa peduli terhadap mahkluk ciptaan Tuhan, diharapkan kelak anak akan ‘berguna’ bagi lingkungan ekosistem alam,” ujar Wina.
Menurut Randy White dan Vicki Stoecklin dalam artikelnya Children’s Outdoor Play and Learning Environments: Returning to Nature, pandangan anak terhadap alam berbeda dengan orang dewasa yang menganggap alam sebagai fasilitas. Anak mempelajari lingkungan alam sebagai stimulator dan bagian dari aktivitasnya. Selain itu, anak menilai lingkungan bukan berdasarkan keindahan melainkan bagaimana mereka dapat berinteraksi di dalamnya.
Hal-hal yang dapat diobservasi oleh anak di lingkungan alam, antara lain:
Air, buat permainan dengan air seperti bagaimana jika balon diisi air, atau jika air dituangkan pada wadah bentuk bulat, kotak, dan sebagainya.
Tumbuh-tumbuhan, seperti pohon, semak-semak, bunga, dan rerumputan.
Hewan, menjelaskan bentuk, perilaku, dan habitat hewan.
Pasir, coba buat campuran pasir dengan air. Lalu buatlah istana pasir atau bentuk lainnya.
Warna alam, tunjukkan warna daun yang serupa (hijau muda dan hijau tua) juga perbedaan warna (daun berwarna hijau dengan daun berwarna merah tua atau cokelat pada tumbuhan tertentu.
Memperlihatkan tempat yang membuat anak merasa nyaman dan dapat melihat pemandangan indah, seperti pergi ke puncak pass di Bogor atau berhiking ria di Gunung Bromo.
Struktur, peralatan dan material dapat berubah sewaktu-waktu atau tergantung imajinasi anak. Misalnya, saat belajar tentang kaktus, lakukan penelitian kecil-kecilan, kaktus yang diberi banyak air dengan kaktus yang jarang disiram.
Dalam artikel Interaction with Nature during the Middle Years: It’s Importance in Children’s Development & Nature’s Future, Cohen dan Horn-Wingerg, mengatakan, dalam psikologi evolusioner manusia terdapat istilah biophilia. Biophilia adalah kebutuhan biologis manusia berinteraksi dengan alam dan respon positif manusia secara genetis dengan alam.
Penelitian membuktikan sepanjang sejarah manusia lebih dari 99 persen manusia hidup intim dengan alam, yaitu mencari makanan di hutan. “Namun, umumnya program pendidikan sekolah alam, mengajarkan alam berdasarkan pandangan atau pendekatan orang dewasa bukan perspektif anak,” kata Cohen. Seharusnya anak belajar lebih banyak otodidak dibanding teori semata.
Alhasil jika konsep abstrak diajarkan pada anak usia terlalu dini seperti kerusakan hutan, atau lubang ozon di atmosfer. Anak akan bingung bahkan takut jika mendapat permasalahan di luar kemampuan kognitif, pemahaman dan kontrolnya. Kebalikan dari biophilia, ketakutan pada kehidupan alam dan masalah ekologi disebut dengan biophobia. Anak pun takut berhubungan dengan alam. Sebaiknya berikan anak penjelasan teori sesuai dengan kemampuan anak dan diimbangi dengan praktek. Ketika anak mengeksplorasi alam otomatis akan menimbulkan kecintaannnya pada alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar