Belajar Dari Alam
Belajar Dari Alam
Mita Zoelandari
Dari seekor semut anak dapat belajar banyak hal sekaligus. Tak hanya soal biologi dan ilmu serangga, tapi juga ilmu sosial seperti kerjasama dan gotong royong. Mengajak
anak menikmati dan mengamati alam dapat menjadi ritual yang
menyehatkan, menyenangkan, dan menambah pengetahuan mereka. Kebersamaan
orangtua dan anak dapat dibangun saat berjalan-jalan di taman. Bersamaan
dengan itu orangtua dapat membahas dan mengkaitkan banyak hal dengan
benda-benda yang ada di taman, seperti bunga, rumput, pohon, serangga,
burung, kolam, sungai, tong sampah, dan lainnya.
Menurut Winarini Wilman, PhD, psikolog dari UI, usia dua tahun
merupakan fase pra-operasional anak untuk dapat memahami simbol,
hubungan sebab akibat, bagaimana berempati dengan lingkungan, dan
kesadaran kemampuan berpikir. Secara kognitif anak sudah bisa belajar
apa pun dan menerima informasi secara konkret, termasuk belajar dari
fenomena alam atau lingkungan sekitar.
Catur Nurrochman Oktavian, Kepala Sekolah sub preschool Sekolah Alam
Ciganjur, Jakarta Selatan, memaparkan, konsep belajar dari alam adalah
mengamati fenomena yang terjadi secara nyata di lingkungan. Dan juga
memanfaatkan apa yang tersedia di alam sebagai media belajar. Pada usia
balita, anak dapat mulai diperkenalkan konsep berhitung. Misalnya, saat
bermain bioskopbioskopan, anak diminta mengumpulkan 10 buah batu untuk
ditukarkan satu tiket. Atau anak diminta menghitung jumlah tanaman
sesuai dengan klasi.kasi jenisnya. “Melalui media alam, anak belajar
konsep berhitung terlebih dulu dengan menjumlahkan, lalu baru belajar
mengenal angka dan bilangan,” ujarnya.
Belajar melalui pengalaman dan fenomena alam akan membuat kemampuan
berpikir anak kian terangsang. Anak membayangkan kembali apa yang
dilihatnya lalu mempertanyakannya. Misalnya, ketika diajak ke kebun
binatang anak akan mengamati polah laku binatang, rasa ingin tahu anak
terpancing, dan kemudian bertanya, ”Ma, kenapa kuda nil senang bermain
air?” Wina menyarankan agar orangtua memiliki pengetahuan yang cukup
juga mengenai fenomena alam sehingga dapat memberikan jawaban yang
tepat. Jika belum dapat menjawab, coba cari jawabannya bersama si kecil.
Segala keanekaragaman dan bahan pembentuk alam tidak dapat digantikan
dengan bahan buatan manusia seperti bunga plastik. Anak tidak dapat
menghentikan sensor momen mereka ketika melihat fenomena alam seperti
kilauan sinar matahari menembus dedaunan, titik air di daun saat pagi
hari (embun), suara dan gerakan pohon ketika ditiup angin, beragam warna
menempel pada sayap kupu-kupu atau bereksperimen dengan air.
Kelihatannya mungkin sepele tapi tidak bagi anak yang menganggap itu hal
baru dan ajaib.
‘Keanehan’ ini dapat mendorong anak lebih semangat mengenal alam.
Maka, berikan anak stimulasi yang berbeda, misalnya jika minggu ini
mengeksplorasi taman dekat rumah, pekan depannya menjelajah kebun
binatang. Sebuah studi menunjukkan anak yang terbiasa bereksperimen
melalui alam berkemampuan lebih cepat mengingat kembali informasi dan
kreatif saat memecahkan masalah.
Cara Mengenalkan Alam
Wina mengatakan, ketertarikan anak tergantung pada bagaimana cara
orangtua mengenalkannya pada alam. Diawali dengan mengajak anak berjalan
di taman atau kebun binatang, tunjukkan beragam hewan, bunga atau apa
yang ada di sana. Pada usia dua tahun, anak pun lebih mudah menerima
informasi karena melihat langsung dibanding melihatnya di buku. Atau
saat anak mempelajari tanaman jeruk, coba rangsang indera penglihatan,
perabaan, dan penciuman. Seperti mencium wangi daun dan buah Jeruk serta
mengecap rasa jeruk.
Hal yang tidak dapat anak pelajari di dalam ruangan, dapat anak
dapatkan di luar ruangan. Anak belajar membuat kesimpulan tidak hanya
berdasarkan informasi yang diterima dari guru. Alam kaya akan
pengetahuan sehingga anak dapat menguji apa yang diterimanya di kelas.
Terdapat tiga tahapan yang dapat dilakukan anak untuk memudahkan
masuknya informasi, yaitu mendengar, menulis atau menggambar lalu
melihat dan melakukan percobaan sendiri. Misalnya, belajar tentang
tanaman pisang, anak bisa mengeksplorasi batang misal permukaan dan
bentuk batang , buah atau daunnya. Kegiatan ini dapat dilakukan mulai
umur 4 sampai 12 tahun.
Seiring perkembangannya, ajak anak melakukan observasi di lapangan
misalnya mengamati, menyentuh atau meraba dan menganalisa. Misalnya,
belajar mengenal bagian-bagian dari tumbuhan, misalnya daun, akar,
batang, kelopak, dan sebagainya. Tak hanya itu, paparkan pada anak
masing-masing fungsinya dan bentuknya yang beragam sehingga anak belajar
mengenal apa yang ada di alam melalui semua inderanya. Anak punya cara
yang unik dan eksperimental untuk mengenal dunia sebagai tempat indah,
misterius dan ajaib. Sehingga lingkungan alam bisa berkaitan langsung
dengan perkembangan anak dan caranya dengan perkembangan anak dan
caranya mengeksplorasi sesuatu. Tumbuhan yang tumbuh di tanah, pasir dan
air, merupakan sesuatu yang nyata dan bukan bohongan. Anak bisa belajar
menanam pohon di tanah liat, tanah berpasir atau tanah dengan pupuk dan
mengamati perkembangan pohon tersebut sehingga timbul kesimpulan, tanah
mana yang cocok untuk menanam tumbuhan. Alam membuat anak berpikir
lebih kreatif dengan mencoba sesuatu yang berbeda-beda.
Semakin kompleks dan beragamnya hal yang ditawarkan alam, maka anak
bisa semakin tertantang dan lebih kompleks lagi mempelajarinya. Seperti,
anak tertarik pada tumbuhan karena tumbuhan memiliki campuran warna,
bentuk, tekstur, keharuman dan kelembutan yang membuat anak nyaman,
misal bunga-bungaan. Hal ini juga membantu kesehatan emosinya. Saat
mempelajari alam sebaiknya anak didampingi orang dewasa, misalnya
orangtua atau guru. Tak cuma itu, orang dewasa tersebut juga diharapkan
memiliki pandangan dan tindakan yang positif terhadap alam. Sehingga
anak akan termotivasi untuk mencontoh, misalnya ketika Anda dan si kecil
piknik bersama di Kebun Raya. Ketika selesai makan buanglah sampah pada
tempatnya. “Sekali-kali ajak anak ke sungai yang dipenuhi sampah dan
sungai yang bersih, minta dia menyimpulkan. Beritahukan juga,
tersumbatnya aliran sungai dapat mengakibatkan banjir,” kata Catur.
Saat anak belajar di alam terbuka, kecelakaan mungkin bisa terjadi.
Oleh sebab itu Wina mengingatkan, agar orangtua memperhitungkan kondisi
medan penjelajahan anak sesuai dengan perkembangan anak. Sebaiknya
orangtua mengobservasi lingkungan dulu. Pastikan tidak ada binatang yang
berbahaya, misalnya ular. Atau benda-benda yang dapat membahayakan anak
seperti terlalu banyak kerikil, bebatuan atau beling. Agar anak nyaman,
beri pakaian yang mendukung aktivitasnya yang disesuaikan dengan cuaca,
jangan terlalu ketat, dan bahan yang menyerap keringat. Pilih sepatu
yang menutupi seluruh kaki dan nyaman dipakai. Sebelum berangkat
menjelajah, ingatkan agar anak tidak sembarangan memegang atau memakan
benda-benda di sekitarnya, karena ada daun atau bunga yang beracun.
Lingkungan luar ruangan ini juga penting bagi perkembangan pribadi
anak, yaitu kemandirian. Anak belajar meningkatkan kewaspadaannya saat
berkegiatan di alam terbuka. Mulanya Anda bisa membuntuti setiap
gerak-geriknya. Namun, jika lingkungan sudah sangat dikenal dan anak
dinilai mampu menjaga dirinya, Anda bisa melonggarkan pengawasan dengan
mengamatinya. Catur mengamatinya. Catur berpendapat, salah satu kegiatan
yang mewakili penjelajahan alam adalah Kegiatan outbound. Aktivitas ini
menuntut keberanian anak, yaitu berani mengambil keputusan dan
menghadapi risiko serta berdisiplin. “Cara lainnya orangtua juga bisa
memberikan anak pengetahuan melalui . Film dokumenter atau buku, namun
tetap dampingi dan beri penjelasan agar anak mengerti,” katanya.
Tujuan belajar dari alam agar anak belajar mengenal, dan menyayangi
lingkungan sekitarnya dan ciptaan Tuhan lainnya. Misalnya, ketika anak
belajar memelihara ikan hias banyak hal yang dapat dipelajari seperti
mengapa ikan bisa berenang, dan berikan kasih sayang ketika memberi
makan atau membersihkan akuarium. Anak juga akan belajar disiplin dengan
memberi makan binatang kesayangannya tepat waktu. “Tumbuhkan rasa
peduli terhadap mahkluk ciptaan Tuhan, diharapkan kelak anak akan
‘berguna’ bagi lingkungan ekosistem alam,” ujar Wina.
Menurut Randy White dan Vicki Stoecklin dalam artikelnya Children’s
Outdoor Play and Learning Environments: Returning to Nature, pandangan
anak terhadap alam berbeda dengan orang dewasa yang menganggap alam
sebagai fasilitas. Anak mempelajari lingkungan alam sebagai stimulator
dan bagian dari aktivitasnya. Selain itu, anak menilai lingkungan bukan
berdasarkan keindahan melainkan bagaimana mereka dapat berinteraksi di
dalamnya.
Hal-hal yang dapat diobservasi oleh anak di lingkungan alam, antara lain:
Air, buat permainan dengan air seperti bagaimana jika balon diisi
air, atau jika air dituangkan pada wadah bentuk bulat, kotak, dan
sebagainya.
Tumbuh-tumbuhan, seperti pohon, semak-semak, bunga, dan rerumputan.
Hewan, menjelaskan bentuk, perilaku, dan habitat hewan.
Pasir, coba buat campuran pasir dengan air. Lalu buatlah istana pasir atau bentuk lainnya.
Warna alam, tunjukkan warna daun yang serupa (hijau muda dan hijau
tua) juga perbedaan warna (daun berwarna hijau dengan daun berwarna
merah tua atau cokelat pada tumbuhan tertentu.
Memperlihatkan tempat yang membuat anak merasa nyaman dan dapat
melihat pemandangan indah, seperti pergi ke puncak pass di Bogor atau
berhiking ria di Gunung Bromo.
Struktur, peralatan dan material dapat berubah sewaktu-waktu atau
tergantung imajinasi anak. Misalnya, saat belajar tentang kaktus,
lakukan penelitian kecil-kecilan, kaktus yang diberi banyak air dengan
kaktus yang jarang disiram.
Dalam artikel Interaction with Nature during the Middle Years: It’s
Importance in Children’s Development & Nature’s Future, Cohen dan
Horn-Wingerg, mengatakan, dalam psikologi evolusioner manusia terdapat
istilah biophilia. Biophilia adalah kebutuhan biologis manusia
berinteraksi dengan alam dan respon positif manusia secara genetis
dengan alam.
Penelitian membuktikan sepanjang sejarah manusia lebih dari 99 persen
manusia hidup intim dengan alam, yaitu mencari makanan di hutan.
“Namun, umumnya program pendidikan sekolah alam, mengajarkan alam
berdasarkan pandangan atau pendekatan orang dewasa bukan perspektif
anak,” kata Cohen. Seharusnya anak belajar lebih banyak otodidak
dibanding teori semata.
Alhasil jika konsep abstrak diajarkan pada anak usia terlalu dini
seperti kerusakan hutan, atau lubang ozon di atmosfer. Anak akan bingung
bahkan takut jika mendapat permasalahan di luar kemampuan kognitif,
pemahaman dan kontrolnya. Kebalikan dari biophilia, ketakutan pada
kehidupan alam dan masalah ekologi disebut dengan biophobia. Anak pun
takut berhubungan dengan alam. Sebaiknya berikan anak penjelasan teori
sesuai dengan kemampuan anak dan diimbangi dengan praktek. Ketika anak
mengeksplorasi alam otomatis akan menimbulkan kecintaannnya pada alam.