Putusnya Mata Rantai Metamorfosis Pendidikan
OPINI | 22 June 2010 | 10:51 Dibaca: 200 Komentar: 2 1 InspiratifGencarnya pemberitaan video porno yang dilakukan oleh selebritis membuat kebakaran jenggot beberapa pihak. Polisi, ahli IT, bahkan Presiden RI semua ikut berbicara mengenai tragedi tersebut. Pro kontra ada dimana-mana dan semua mengarah pada permasalahan yang sama. Ribuan orang mengunduh secara gratis, tetapi entah berapa juta yang menggandakan lewat salin-tempel, blue tooth atau terang-terangan sudah dalam format VCD. Korban berjatuhan, baik dari korban/pelaku video, pengedar, pembajak, pengunggah, pemilik warnet dan parahnya generasi muda ikut terlibat didalamnya. Realitanya banyak anak-anak yang nongkrong didepan layar tabung atau LCD, dan bermain di sungai sudah terlupakan sambil berkata “salamat datang dunia teknologi dan selamat jalan masa lalu”.
Beberapa waktu yang lalu membaca sebuah artikel “97% siswa SMP pernah melihat film porno”. Sebuah anggka yang fantastis, walaupun masih diragukan kebenarannya, tetapi setidaknya bisa menjadi lampu suar tentang kondisi anak saat ini. Angka 97% untuk anak SMP, bagaimana dengan anak SD, atau mungkin anak SMU yang hampir 100%, apalagi mahasiswa yang sudah naik levelnya menjadi pemainnya. Sungguh fenomena yang bak gunung es di tengah lautan tropis, aneh tetapi nyata. Seberapa besar pendampingan pendidikan formal sekolah dangan non formal “keluarga” dalam membentengi generasi mudah saat ini salayaknya dipertanyakan.
Mempersiapkan anak-anak atau generasi muda bukanlah perkara yang mudah pada kondisi terpaan jaman yang susah ditebak. Budaya hedonisme seolah sudah mengakar kuat dan menjadi racun yang semakin hari semakin akut seolah tak ada antidot-nya. Pendidikan formal dan nonformal seolah hanya sebagai rutinitas belaka dan selanjutnya gemerlapnya dunia yang berperan. Berbagai cara dilakukan orang tua untuk memoles putra-putrinya menjadi penerusnya kelak dan menjadi anak yang bisa dibanggakan. Segala cara ditempuh untuk mencapai tujuannya, tetapi kadangkala menjadi bumerang bagi anak itu sendiri.
Mencoba sedikit belajar dari kisah-kisah jaman kerajaan dahulu, dimana seorang putra mahkota diharuskan “ngenger”, berguru antar pedepokan, belajar olah jiwa dan kanuragan, mengembara dipelosok-pelosok desa. Tujuan pendidikan ala Pangeran jaman dulu, setidaknya memberikan gambaranya nyata kondisi sebenarnya, dimana bekal olah jiwa dan kanuragan langsung bisa dipraktikan. Ngenger selama sekian waktu untuk menempa diri menjadi seorang calon raja dengan segala macam kesulitan dan rintangan, dan walhasil menjadi sesosok pemimpin yang mendekati sempurna. Metode seperti itu juga diterapkan dikerajaan Inggris dimana putra mahkota dikirim di wilayah konflik, perang dan bencana.
Menjadi pertanyaan saat ini adalah bagaimana dengan pangeran, putri atau putra mahkota dalam pendidikannya. Tidak usah berbicara tentang kerajaan dahulu, tetapi beberapa kalangan orang mampu sepertinya enggan belajar dari kisah nyata. Generasi muda sekarang seolah terlena dan dimanjakan oleh fasilitas dan teknologi. Tidak memunafikan perkembangan jaman, tetapi setidaknya ada dampak negatif atau sebuah ada mata rantai proses yang terpotong. Sistim “ngenger” ala pangeran seolah menjadi cerita legenda dan milik orang-orang tertentu saja, tetapi saat ini sudah era modern dan semua bisa dengan mudah diperoleh.
Sebuah contoh sederhana, disaat anak sekolah mendapat tugas dari gurunya membuat sebuah artikel. Dahulu semua berbondong-bondong menuju perpustakaan mencari literatur, buku, majalah, kliping bahkan harus memindai halam koran satu persatu. Sebuah proses panjang dan tidak efisien jika dilihat dari kacamata saat ini. Pada saat ini biarkan pustakawan menjadi penunggu ribuan koleksi buku dan saatnya berpindah di sebuah mall sambil makan, cari hot spot lalu dengan mesin pencari mencari topik artikel, salin lalu tempel setelah itu edit sedikit dan selesai. Sebuah proses yang tidak membutuhkan waktu lama dan hasilnya tidak kalah yang berburu diperpustakaan. Bila mencermati sepertinya ada beberapa mata rantai proses yang terputus dimana penekanan saat ini adalah pada proses hasil akhir, padahal pendidikan adalan pelajaran proses untuk hasil akhir.
Saat ini mungkin banyak anak sekolah yang selalu berkutat dengan buku ajar, internet, dan lembaran-lembaran teori. Menjadi pertanyaan saat ini adalah, puaskan mereka dengan teori yang menjejali otak mereka. Belajar sedikit dari para Pangeran tempo dulu adalah dengan cara turun ke lapangan langsung. Bolehlah sekali-kali mengajak anak main di desa-desa walau hanya sebatas melihat kerbau membajak sawah. Mungkin kerbau dan sawah adalah contoh sederhana, namun sekarang sangat susah menemukan simbiosis hewan dan petani tersebut. Mengajari anak dengan melhat langsung dunia nyata sepertinya bisa memberikan tetesan embun penyegar disaat ada dahaga teori diotak mereka.
Belajar dari alam mungkin menjadi solusi yang baik dalam dunia pendidikan. Sebuah iklan produk susu yang menggambarkan seorang Ibu yang membiarkan anaknya berhujan-hujan ria untuk melihat metamorfosis kupu-kupu. Sebuah tindakan nyata yang patut diacungi jempol buat sang Ibu dengan membiarkan anaknya belajar langsung dari alam. Perubahan telur, ulat, kepompong dan menjadi kupu-kupu indah layaknya sebuah metaformosis pendidikan yang menjadi idaman. Ada sebuah proses yang setahap demi setahap dan berakhir dalam keindahan. Biarkan anak belajar dari alam dan biarkan alam mengajari mereka tentang sebuah proses belajar agar menjadi kupuk-kupu yang indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar