Jumat, 02 November 2012

PENGANTAR STUDI ILMU FALAK



PENGANTAR STUDI ILMU FALAK[1]
Oleh : Musa Al Azhar, Lc.[2]
· وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَ‌ۙ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ[3] (٧٨(
· إِنَّ فِى خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّہَارِ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّأُوْلِى ٱلۡأَلۡبَـٰبِ (١٩٠) ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَـٰمً۬ا وَقُعُودً۬ا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَڪَّرُونَ فِى خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلاً۬ سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ (١٩١) [4]
A. Pendahuluan
Prof. DR. Thaha Jabir al-Alwani menyebutnya, al-Jam`u baina’l Qirâ’atain. Mufti Mesir, Prof. DR. Ali Jum`ah Muhammad menyebutnya Kitâbu’l Manzhûr wa Kitâbu’l Masthûr. Siapapun boleh punya istilah sendiri yang merujuk pada sebuah usaha untuk menyeimbangkan antara dua ‘pembacaan’ yang dibutuhkan dalam realisasi tugas khilafah. Eksplorasi terhadap ayat-ayat qauliyah (nash syariat) dan ayat-ayat kauniyah (fenomena alam). Tanpa keduanya yang berjalan bersama, mustahil prestasi sebagai khalifah di muka bumi diraih.
Salah satu hal yang mendapat perhatian besar dalam hal ini adalah pengamatan terhadap benda langit. Hampir semua peradaban besar di dunia ini memiliki kisahnya masing-masing terhadap benda langit. Peradaban Mesir, Cina, Yunani, dan Arab-Islam. Sehingga Prof. DR. Muhammad Ahmad Sulaiman[5] berani bertesis bahwa ilmu falak (astronomi) sebenarnya merupakan parameter kemajuan sebuah peradaban.[6]
B. Definisi Ilmu Falak
Di dalam al-Quran, kata falak yang bermakna garis edar/orbit disebut dua kali[7] yaitu:
· وَهُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّہَارَ وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ‌ۖ كُلٌّ۬ فِى فَلَكٍ۬ يَسۡبَحُونَ (٣٣(
Artinya : Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. (al-Anbiyâ’: 33)
· لَا ٱلشَّمۡسُ يَنۢبَغِى لَهَآ أَن تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّيۡلُ سَابِقُ ٱلنَّہَارِ‌ۚ وَكُلٌّ۬ فِى فَلَكٍ۬ يَسۡبَحُونَ (٤٠(
Artinya: Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yâ-Sîn: 40)
Menurut Ibnu Khaldun (808 H), ilmu falak adalah ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak, dan gumpalan-gumpalan awan yang beterbangan.[8]
Menurut al-Khawarizmi, ilmu perbintangan dalam bahasa Arab dinamakan al-Tanjîm, sedangkan dalam bahasa Yunani dinamakan astronomi, yang mana “astro” artinya bintang, dan “nomia” artinya ilmu. Sedangkan ilmu hai’ah, adalah ilmu tentang susunan orbit dan bentuknya, serta bentuk bumi.[9]
Terminologi ‘Ilmu’l Falak (astronomi) sebenarnya baru muncul pada akhir abad 19 M. Dahulu lebih popular dengan nama ‘Ilmu’l Hai’ah. Nama itu menunjuk pada suatu aspek ilmiah yang didasarkan atas observasi, hampir sama seperti astronomi modern. (Meskipun ‘Ilmu’l Falak modern dapat dikatakan lebih ‘bersih dan suci’ dari ‘Ilmu’l Hai’ah pada zaman dahulu).
Lawan dari ‘Ilmu’l Hai’ah adalah ‘Ilm Ahkâm al-Nujûm atau ’Ilmu’l Ahkâm. Pada masa kini, digunakan kata al-Tanjîm untuk menyebut aspek tidak ilmiah itu.[10]
Al-Farabi (339 H) memasukkan ‘Ilmu’l Falak atau ‘Ilmu’l Hai’ah dalam warisan budaya falak kuno ke dalam sebuah tema yang lebih besar yaitu ‘Ilm al-Nujûm (ilmu bintang). Dari sinilah kemudian ilmu tersebut dibagi menjadi dua macam. Pertama, ‘Ilm Ahkâm al-Nujûm atau yang dapat disebut sebagai al-Tanjîm. Kedua, ‘Ilm al-Nujûm al-Ta’lîmi[11]. Dalam kebudayaan Arab Islam, ilmu falak dimasukkan ke dalam al-‘Ulûm al-Riyâdhiyyah[12].
C. Sejarah Astronomi Dunia
1. Mesir Kuno
Sebagai salah satu peradaban tertua di dunia, Mesir kuno memiliki kisahnya sendiri dengan benda-benda langit. Mereka meyakini bahwa langit itu berbentuk sapi yang bernama Hathour (tuhan langit). Perutnya dipenuhi oleh bintang-bintang. Ada pula yang beranggapan bahwa bentuk langit adalah seperti seorang wanita bertanduk sapi dan lain sebagainya. Namun, takhayul semacam ini tidak berarti menunjukkan bahwa astronomi bangsa Mesir kuno terbelakang.
Dalam persoalan kalender, mereka memiliki sistemnya sendiri. Bermula dari peristiwa kemunculan bintang Sirius (Najm al-Syi`râ al-Yamâniyyah) yang selalu bertepatan dengan banjir Nil. Antara satu kemunculan dengan kemunculan berikutnya berjarak 365 hari. Kemudian mereka membaginya menjadi 12 bulan, dan setiap bulan dibagi menjadi 30 hari. Sehingga 30 hari x 12 bulan adalah 360 hari. Adapun kekurangan lima hari, mereka anggap sebagai Ayyâm al-Nasî (interkalasi). Tidak berhenti pada hitungan hari, mereka pun sudah mengenal jam sebagai satuan waktu terkecil.[13]
Salah satu keunggulan bangsa Mesir kuno adalah mampu memanfaatkan astronomi untuk keperluan pembangunan. Kuil Abu Simbel misalnya. Para arsitek di masa  itu dapat mengatur struktur bangunan kuil agar sinar matahari hanya mampu menembus dinding belakang kuil (kecuali patung Dewa Ptah, dewa dunia bawah, yang harus ‘selalu berada dalam kegelapan’) pada dua hari, yaitu 21 Oktober dan 21 Februari. Konon, itu adalah hari ulang tahun raja dan hari penobatannya.[14]
2.Yunani Kuno
Salah satu cara mengetahui perkembangan astronomi Yunani kuno adalah menelaah pendapat dari para filosofnya yang terkenal:
1)      Thales. Berpendapat bahwa asal segala sesuatu adalah air. Ia pun telah meyakini bahwa bumi itu bulat. Sejarah mencatat bahwa ia mampu memprediksi kapan terjadi gerhana matahari, seperti pada tahun 585 SM.
2)      Phytagoras. Berpendapat bahwa alam tersusun dari empat unsur (tanah, air, udara, dan api). Unsur-unsur ini berbentuk lingkaran. Ia juga berpendapat bahwa bumi ada di pusat alam. Phytaghoras meyakini bahwa bulan bentuknya menyerupai bumi bahkan dihuni oleh tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan. Besarnya pun 15 kali lebih besar dari bumi.
3)      Aristoteles. Dia melihat alam dari kacamata metafisika. Menurutnya, alam berbentuk lingkaran. Mengenai bumi, ia meyakini bahwa bumi adalah pusat dari tata surya. Aristoteles juga mampu membuktikan bahwa bumi itu bulat dengan cara melihat bayangan bumi pada bulan. Dia juga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa diameter bumi 12.461 mil, meskipun yang diketahui sekarang ini adalah 7920 mil.
4)      Ptolomeus. Termasuk salah seorang filosof yang terkenal dan memiliki pengaruh besar dalam dunia astronomi. Tercatat bahwa kitabnya, Almagest, pernah menjadi buku pedoman astronomi selama beberapa abad. Dalam kitab itu dikatakan bahwa bumi berada di tengah-tengah langit, menurutnya, kalau tidak demikian maka salah satu ujung langit akan terlihat lebih dekat dari ujung lainnya. Ptolomeus berpendapat bahwa bumi adalah pusat tata surya dan benda-benda langit yang lain seperti matahari, bulan, dan planet-planet beredar mengelilingi bumi. Keyakinan ini bertahan selama 16 abad.[15]
3.India Kuno
Pergerakan matahari, bulan, dan Jupiter mendapat perhatian khusus dari bangsa India kuno karena sangat berkaitan dengan sistem waktu mereka. Terutama pergerakan bulan yang sangat terkait dengan pelaksanaan kurban.[16] Bangsa India tidak dapat diremehkan kontribusinya dalam kemajuan astronomi Arab-Islam. Al-Biruni (440 H), seorang astronom muslim melakukan riset terhadap peradbaan India yang dituangkan dalam karyanya Tahqîq mâ li’l Hind min Maqûlah Ma`qûlah fi’l `Aql am Mardzûlah.
Sejarah juga mencatat bahwa pada masa Khalifah al-Manshur dari Dinasti Abbasiyah, salah satu buku dari peradaban India yang berjudul “Sind Hind” diterjemahkan oleh Muhammad bin Ibrahim al-Fazzari. Buku inilah yang berpengaruh besar dalamperkembangan astronomi Arab-Islam.[17]
4. Eropa
Pemikiran Eropa sempat mengalami stagnasi pada abad pertengahan. Ada dua hal yang menurut hemat penulis merupakan faktor dari hal tersebut:
a)   Otoritas gereja. Berbeda dengan ajaran Islam yang memerintahkan umatnya untuk mengekksplorasi alam semesta, para petinggi gereja justru mengungkung kebebasan berpikir, sampai pada zaman Renaisans. Muncullah beberapa ilmuwan seperti Nicolas Copernicus yang mendukung teori heliosenstris.Dalam bukunya On the Revolutions of the Heavenly Spheres, ia menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Selain itu, muncul nama Galileo Galilei yang berpendapat sama, ia juga pernah melakukan pengamatan terhadap bintik hitam pada matahari. Namun keduanya tidak beruntung karena harus berurusan dengan gereja. Mereka dianggap menyalahi ajaran gereja yang ketika itu mendukung teori yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya. Khusus Galileo, namanya baru dibersihkan pada tanggal 21 Desember 2008 dalam pidato Paus Benediktus XVI, meskipun pada masa Paus Yohannes Paulus II (sekitar tahun 1992), gereja mengakui bahwa hukuman terhadap Galileo itu salah.[18] Bagi Copernicus, akhirnya bangsa Eropa memujinya sebagai bapak astronomi modern.[19]
b)   Astrologi. Secara umum, astrologi adalah sebuah aktifitas untuk mengetahui hal-hal ghaib dengan cara mengamati bintang-bintang. Segala hal yang terjadi di muka bumi selalu ada kaitannya dengan karakter dan pergerakan bintang-bintang.[20] Menurut Carlo Nallino[21], kebanyakan filosof dan pakar katalog ilmu mengikuti model Aristotelian yang memasukkan astrologi ke dalam salah satu cabang ilmu alam bersama dengan kedokteran, kimia, tafsir mimpi, dan lain-lain. Berbeda dengan para ilmuwan muslim seperti al-Farabi, Ibnu Khaldun, bahkan Ikhwan al-Shafa yang memasukkannya kedalam kategori al-‘Ulûm al-Riyâdhiyyah.
Astrologi tidak memiliki prospek cerah bahkan cenderung menjerumuskan. Pemikiran astronomi Eropa pernah mengalami stagnasi pada abad pertengahan akibat astrologi. Sihir, khurafat, dan ramalan bintang sempat menjadi tren baru di Eropa. Parahnya, pembacaan tidak ilmiah terhadap pergerakan benda langit ini juga mewabah di gereja, universitas, apalagi masyarakat pada saat itu. Menurut Abdul Amir Mukmin[22], astrologi pernah menjadi materi kuliah di universitas-universitas Eropa saat itu.
Sampai pada suatu ketika, Astronomi yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim membawa angin segar bagi pemikiran astronomi dunia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa peradaban barat banyak berguru kepada para ilmuwan muslim. Bahkan ilmu-ilmu dari peradaban Yunani yang notabene nenek moyang mereka sendiri diperoleh via-talaqqi dengan ilmuwan-ilmuwan muslim.
D. Sejarah Astronomi Arab-Islam
Masyarakat Arab pra-Islam hanya memandang astronomi dan astrologi sebagai sarana memenuhi kebutuhan hidup, bukan sebagai disiplin ilmu tertentu. Keperluan niaga yang mengharuskan mereka menempuh ekspedisi di lautan padang pasir tanpa penanda jalan. Oleh karenanya, keberadaan bintang dan rasi-rasi bintang menjadi hal yang sangat urgen bagi mereka. Al-Quran pun bersaksi akan hal ini[23].
Bangsa Kaledonia dari Iraq banyak memberikan pengaruh besar terhadap bangsa Arab dalam hal astronomi. Dari merekalah bangsa Arab banyak belajar mengenai rasi bintang, posisi bulan dan matahari, dan banyak hal lainnya. Bahkan salah satu jejak pengaruh Kaledonia adalah beberapa istilah astronomi seperti nama planet al-Marîkh (planet Mars) yang ternyata sangat mirip dengan Mardâkh (istilah Kaledonia untuk planet Mars). Pada akhirnya, bangsa Arab sampai bisa mengetahui bintang-bintang tertentu secara naluriah. Bahkan, nama-nama ruang angkasa tersebut sampai masuk ke dalam syair-syair mereka.[24]
Mereka telah terbiasa dengan berbagai macam observasi. Mulai dari observasi matahari, bulan, dan bintang sampai gerhana bulan dan matahari. Mereka pun telah mengenal rasi bintang yang dua belas. Tidak hanya itu, mereka menamai beberapa nama bintang/rasi bintang yang sampai sekarang masih digunakan dalam diskursus astronomi dunia, seperti al-Thâ’ir (Altair), Ibth al-Jauzâ’ (Betelgeuse), al-Rijl (Rigel), dan sebagainya.[25] Sekali lagi, unsur mistis tidak dapat dihindarkan. Diutusnya Nabi Muhammad Saw. menjadi titik awal menyingkirnya segala bentuk khurafat dari kajian ilmu alam, khususnya perbintangan. Al-Quran dan Sunah banyak mengarahkan bangsa Arab Islam ketika itu untuk apa seharusnya observasi terhadap benda langit dilakukan.
Beralih ke masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang menjadi pionir kajian astronomi Islam. Penerjemahan dan pengembangan ilmu dari budaya luar mulai menjadi proyek baru umat Islam yang secara resmi dimulai pada akhir masa Dinasti Umayyah dan awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Pada masa Dinasti Umayyah, Khalid bin Yazid bin Muawiyah (85 H) terkenal sebagai orang yang memiliki peran besar terhadap penerjemahan buku-buku dari peradaban luar. Buku-buku bertema kedokteran, perbintangan, dan kimia adalah yang pertama kali diterjemahkan. Menurut Sha’id al-Andalus, Khalid sangat kompeten dalam urusan perbintangan dan astrologi. Hanya saja, tidak dapat dikatakan bahwa era Umawi adalah awal era astronomi Arab Islam karena penerjemahan pada saat itu masih terbilang sedikit, atau dengan kata lain, masih sedikit karya-karya astronomi dari era Umawi yang sampai kepada kita.[26]
Khalifah al-Mansur dan al-Makmun dari Dinasti Abbasiyah memiliki peran besar dalam kajian astronomi dan astrologi di kalangan umat Islam. Khalifah al-Mansur (170 H) sebagai penggemar berat astrologi memulai gerakan keilmuan secara besar-besaran. Era al-Mansur masih belum dapat dikatakan sebagai era astronomi Arab Islam yang sesungguhnya, mengingat fase ini lebih menitikberatkan pada penerjemahan buku. Buku-buku tersebut masih diterjemahkan dan dipelajari apa adanya dari sumber aslinya, belum banyak dilakukan kritik dari ilmuwan muslim. Memang astrolog yang juga astronom lebih banyak dijumpai, tapi ada juga astronom yang juga astrolog. Kesimpulannya, astrologi seperti mukadimah dalam pertumbuhan astronomi, atau penggeraknya.
Sedikit bercerita, di era al-Mansur astrologi menjadi tren baik di kalangan masyarakat sampai ke tingkat Negara. Di kalangan masayarakat, rakyat kecil tentu sangat tertarik dengan hal-hal aneh yang dapat dijumpai pada astrologi. Di istana, seorang astrolog pun diangkat menjadi seorang penasehat khalifah. Urusan pembangunan kota Baghdad, banyak mengambil nasehat dari Nubkhat (seorang astrolog)[27].
Perhatian terhadap astrologi dengan mengabaikan observasi ilmiah astronomi ini terus berlanjut sampai pada masa penerjemahan buku-buku dari India.[28]
Pada masa Khalifah al-Makmun (218 H), setelah melalui proses panjang, astronomi Arab Islam mulai menemukan bentuk terbaiknya. Sebuah prestasi besar yang berhasil dituai adalah penggunaan antara al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah dengan observasi dan eksperiman di lapangan. Dari sinilah mulai diungkap sisi-sisi tidak ilmiah astrologi yang membuatnya perlahan mulai tersingkir digantikan dengan astronomi. Dua hal yang menjadi faktor keberhasilan hal tersebut adalah pribadi seorang al-Makmun yang mencintai hal-hal ilmiah dan astronomi tentunya, serta munculnya lembaga yang membawahi kegiatan keilmuan tersebut.
Khalifah al-Makmun menjadi sponsor dan mencurahkan perhatian materi maupun non-materi yang sangat besar bagi pengembangan astronomi Arab Islam. Mulai dibangun observatorium di berbagai tempat[29], penemuan berbagai instrumen astronomi, dan proyek pengukuran garis keliling bumi menjadi salah satu buktinya. Abdul Amir al-Mukmin menggambarkan ia sebagai orang yang tepat yang muncul di saat yang tepat pula.
Penerjemah ikut menikmati hal tersebut. Setiap hari Selasa khalifah membagikan hadiah bagi orang dengan proyek ilmiah dan sastra yang terbaik.
Baitul Hikmah[30] menjadi lembaga keilmuan terbesar pada saat itu. Memang sudah hilang jejak, bahkan tidak diketahui dimana tempatnya secara pasti, apalagi bentuknya. Tapi dari sinilah berbagai observasi yang melahirkan berbagai teori astronomi dimulai. Almagest dan al-Maqâlât al-Arba’ah yang sempat menjadi muqarrar induk dalam bidang ilmu alam dan matematika mulai menemui kodratnya sebagai sebuah teori, alias dikritisi[31].[32]
Salah satu temuan besar lainnya adalah Astrolabe, alat untuk mengukur ketinggian dan posisi bintang dan benda langit lainnya. Adalah Muhammad bin Ibrahim al-Fazzari yang menemukannya.
(astrolabe)
E. Pemikiran Astronomi para Ulama
Pernahkah kita berpikir, untuk apa seorang mujtahid mempelajari sains? Cara terbaik menjawab pertanyaan di atas adalah dengan meneliti bagaimana para ulama pendahulu menempatkan sains sebagai perangkat ijtihad.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi berbicara masalah hal ini dalam salah satu karyanya, al-Ijtihâd fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah, ketika membahas syarat seorang mujtahid. Syarat ketujuh menurut beliau adalah Ma`rifat al-Nâs wa’l Hayâh. Di dalamnya, beliau berpendapat bahwa seorang mujtahid seyogyanya juga menguasai wawasan kontemporer termasuk juga ilmu-ilmu seperti psikologi, pendidikan, sosiologi, ekonomi, sejarah, politik, hukum internasional, dan lain-lain. Begitu juga dengan ilmu alam seperti biologi, kimia, sains, matematika, dan sebagainya. Meskipun tidak berarti harus menjadi seorang pakar di dalamnya. Betapa banyak persoalan yang muncul berkaitan dengan ilmu-ilmu di atas.[33] Termasuk di dalamnya penentuan awal bulan hijriyah.
F. Astronomi Islam di Masa Kini
Sejalan dengan runtuhnya khilafah, astronomi Islam mengalami kemunduran hingga akhir abad ke-19. Akhirnya pada awal abad-20, kajian astronomi Islam mulai dibangkitkan kembali setelah munculnya beberapa ahli falak Eropa yang melakukan observasi hilal seperti Fotheringham tahun 1910 dan Maunder tahun 1911. Diikuti dengan kemunculan astronom asal Malaysia, Muhammad Ilyas yang concern dalam kajian kalender Islam internasional, serta menawarkan konsep garis tanggal internasional. Semenjak itu, astronomi dalam dunia Islam mengalami perkembangan.
Umat Islam juga beberapa kali mengadakan konferensi demi usaha penetapan kalender Islam internasional seperti yang dilaksanakan di Maroko 2008 lalu. Selain itu didirikan lembaga Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP) di Yordania yang dirintis oleh Muhammad Audah (Muhammad Odeh).[34] Beberapa tokoh pun muncul seperti Prof. DR. Nidlal Guessom, Khalid Saukat, Jamaluddin Abdurrazik, Muhammad Shaleh Abdul Azis al-Ujairy, Alireza Mehrani, dan lain-lain.
Di Indonesia, muncul beberapa nama seperti Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari[35], Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau, dan lain-lain. Termasuk pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, juga memiliki perhatian dalam ilmu falak. Ada pula KH. Ahmad Badawi, Sa’adoedin Djambek, dan KH. Wardan Diponingrat yang mempelopori hisab hakiki wujudul hilal. Setelah generasi mereka lahir H.M. Bidran Hadie, Ir. H. Basith Wahid, dan Drs. H. Abdur Rachim. Saat ini, kajian ilmu falak dihiasi oleh nama-nama seperti Prof. DR. H. Syamsul Anwar, MA., Drs. Oman Fathurrahman, Prof. DR. Susiknan Azhari, Drs. H. Sriyatin Shadiq[36], dan selanjutnya,...anda...
F. Penutup
Dapat dikatakan bahwa kajian astronomi seluas alam semesta. Memang itu obyeknya. Jadi, tugas khilafah tidak mudah dan tidak sedikit. Sungguh aneh apabila seseorang hanya mengambil satu bidang dengan mengabaikan yang lain. Bicara kemampuan, memang beban tersebut mustahil dipikul oleh satu orang atau satu kelompok. Ini adalah beban kaum muslimin. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb

Daftar Pustaka
al-Quran al-Karim
Butar Butar, Arwin Juli Rakhmadi, Pengantar Ilmu Falak, Lembaga Penerbitan PCIM-Kairo, Mesir,  cet. II, 2010 M
al-Harari, Muhammad Amin bin Abdullah, Tafsîr Hadâ’iq al-Rauh wa al-Raihân, Dâr al-Minhâj, Jeddah, Saudi Arabia, cet. III, 1428 H/2008 M
al-Mukmin, Abdul Amir, Makânatu’l Falak wa al-Tanjîm fî Turâtsinâ al-‘Ilmi, Dâru’l Qalam, Dubai, UEA, cet. I, 1418 H/1997 M
al-Qaradhawi, Yusuf al-Qaradhawi, al-Ijtihâd fî al-Syari`ah al-Islâmiyyah, Daru’l Qalam, Kuwait, cet. IV, 1432 H/2011 M
al-Razi, Muhammad Fakhruddin, Tafsîru’l Fakhr al-Râzi;  al- Musytahir bi al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtihi’l Ghaib, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1401 H/1981 M
al-Ruhi, Fauziah Muhammad, Âfâq Falakiyyah, Universitas Kuwait, Kuwait, cet. I, 1997 M
al-Syafi`i, Husain Muhammad Fahmi, al-Dalîl al-Mufahris li Alfâzhi’l Qur’ân al-Karîm, Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir, cet. III, 1428 H/2008 M
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, MTT-PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Indonesia, cet. II, 1430 H/2009 M
Musa, Ali Hasan, `Ilmu’l Falak fî al-Turâts al-`Arabi, Dâru’l Fikr, Damaskus ,Syiria, cet. I, 2001 M
http://en.wikipedia.org


[1] Disampaikan pada Pelatihan Ilmu Falak di aula Rumah Gadang KMM hari Ahad, 8 Juli 2012
[2] Mahasiswa Fakultas Hadis dan Ilmu Hadis, Universitas al-Azhar, Kairo. Anggota kajian ilmu falak AFDA-PCIM Kairo-Mesir
[3] QS. Al-Nahl: 78
[4] QS. Ali Imran: 190-191
[5] Guru besar astronomi di Pusat Observatorium Astronomi dan Geofisika, Helwan-Mesir
[6] Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, Pengantar Ilmu Falak, Lembaga Penerbitan PCIM-Kairo, Mesir,  cet. II, 2010 M, hal. ix
[7] Husain Muhammad Fahmi al-Syafi`i, al-Dalîl al-Mufahris li Alfâzhi’l Qur’ân al-Karîm, Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir, cet. III, 1428 H/2008 M, hal. 604
[8] Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, Op. Cit., hal. 1. Lihat juga: Ali Hasan Musa, `Ilmu’l Falak fî al-Turâts al-`Arabi, Dâru’l Fikr, Damaskus ,Syiria, cet. I, 2001 M, hal. 26
[9] Ali Hasan Musa, Ibid., hal. 28
[10] Abdul Amir al-Mukmin, Makânatu’l Falak wa al-Tanjîm fî Turâtsinâ al-‘Ilmi, Dâru’l Qalam, Dubai, UEA, cet. I, 1418 H/1997 M,  hal. 40
[11] Yang kedua inilah yang nantinya adalah astronomi yang kita kenal saat ini
[12] al-‘Ulûm al-Riyâdhiyyah dibagi menjadi 4 macam; Geometri, Ilmu Alam, Angka, dan Musik. Ilmu alam inilah yang akhirnya berevolusi menjadi astronomi modern, dan terus melahirkan beberapa cabang ilmu di abad 20 M seperti astrofisika, astrometri, radio astronomi, bahkan kosmologi.
[13] Fauziah Muhammad al-Ruhi, Âfâq Falakiyyah, Universitas Kuwait, Kuwait, cet. I, 1997 M, hal. 10
[14] http://en.wikipedia.org/wiki/Abu_Simbel_temples. Akses Sabtu, 7 Juli 2012, pukul 7:39 clt
[15] Fauziah Muhammad al-Ruhi, Op. Cit., hal. 17
[16] Ibid., hal. 18
[17] Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, Op. Cit¸ hal. 6
[19] Namun, ada sebuah sejarah yang layak dikaji ulang dan direkonstruksi. Tabel-tabel astronomi (zij) yang dibuat oleh Copernicus memiliki banyak kemiripan dengan tabel astronomi milik Ibnu Syathir, seorang astronom muslim yang wafat tahun 777 H. Lihat: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Op. Cit., hal. 12
[20] Abdul Amir al-Mukmin, Op. Cit., hal. 49
[21] Seorang orientalis asal Italia yang juga merupakan profesor di Universitas Mesir (sekarang Universitas Kairo) dan Universitas Palermo
[22] Cendekiawan berkebangsaan Irak, produktif menulis berbagai karya. Di antaranya adalah Makânatu’l Falak wa al-Tanjîm fî Turâtsinâ al-‘Ilmi yang diterbitkan oleh Dâru’l Qalam, Kuwait
[23] QS. al-Nahl : 16. Beberapa ahli tafsir bahkan secara tegas menyebutkan dhamîr hum yang terdapat pada ayat tersebut kembali kepada kaum Quraisy. Lihat: Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsîru’l Fakhr al-Râzi;  al- Musytahir bi al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtihi’l Ghaib, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1401 H/1981 M, vol. XX, hal. 10. Lihat juga: Muhammad Amin bin Abdullah al-Harari, Tafsîr Hadâ’iq al-Rauh wa al-Raihân, Dâr al-Minhâj, Jeddah, Saudi Arabia, cet. III, 1428 H/2008 M, vol. XV, hal. 163
[24] Abdul Amir Mukmin, Op. Cit., hal. 123
[25] Fauziah Muhammad al-Ruhi, Op. Cit., hal. 24
[26] Abdul Amir Mukmin, Op. Cit., hal. 139
[27] Hal ini diceritakan oleh Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khathib al-Baghdadi (463 H) dalam Târîkh Madînat al-Salâm
[28] Abdul Amir al-Mukmin, Ibid., hal. 141-156
[29] Dua observatorium yang terkenal adalah observatorium al-Syamasiyah dan observatorium Gunung Qasiyun
[30] Beberapa nama Baitul Hikmah diantaranya Darul Hikmah dan Khazain al-Hikmah
[31] Salah satunya adalah karya Ibnu Haitsam (430 H) yang berjudul al-Syukûk `alâ Bathlmaiyûs yang telah ditahkik oleh DR. Abdul Hamid Shabrah dan DR. Nabil al-Syihabi, diterbitkan oleh, Dâri’l Kutub wa’l Watsâiq al-Qaumiyyah, Mesir. Di dalam karya al-Biruni, al-Qânûn al-Mas`ûdi juga terdapat kajian mengenai Almagest.
[32] Abdul Amir al-Mukmin, Ibid., hal. 157-188
[33] Yusuf al-Qaradhawi, al-Ijtihâd fî al-Syari`ah al-Islâmiyyah, Daru’l Qalam, Kuwait, cet. IV, 1432 H/2011 M, hal. 61
[34] Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, MTT-PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Indonesia, cet. II, 1430 H/2009 M, hal. 9
[35] Alumni al-Azhar, kelahiran Bukittinggi
[36] Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Op. Cit., hal. 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar