PENGANTAR STUDI ILMU FALAK
PENGANTAR STUDI ILMU FALAK[1]
Oleh : Musa Al Azhar, Lc.[2]
· وَٱللَّهُ
أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَجَعَلَ
لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَۙ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ[3] (٧٨(
·
إِنَّ
فِى خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّہَارِ
لَأَيَـٰتٍ۬ لِّأُوْلِى ٱلۡأَلۡبَـٰبِ (١٩٠) ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَـٰمً۬ا وَقُعُودً۬ا
وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَڪَّرُونَ فِى خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ
رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلاً۬ سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
(١٩١) [4]
A. Pendahuluan
Prof. DR. Thaha Jabir al-Alwani menyebutnya, al-Jam`u baina’l Qirâ’atain.
Mufti Mesir, Prof. DR. Ali Jum`ah Muhammad menyebutnya Kitâbu’l Manzhûr wa
Kitâbu’l Masthûr. Siapapun boleh punya istilah sendiri yang merujuk pada
sebuah usaha untuk menyeimbangkan antara dua ‘pembacaan’ yang dibutuhkan dalam
realisasi tugas khilafah. Eksplorasi terhadap ayat-ayat qauliyah (nash syariat)
dan ayat-ayat kauniyah (fenomena alam). Tanpa keduanya yang berjalan bersama,
mustahil prestasi sebagai khalifah di muka bumi diraih.
Salah satu hal yang mendapat perhatian besar dalam hal ini adalah
pengamatan terhadap benda langit. Hampir semua peradaban besar di dunia ini
memiliki kisahnya masing-masing terhadap benda langit. Peradaban Mesir, Cina,
Yunani, dan Arab-Islam. Sehingga Prof. DR. Muhammad Ahmad Sulaiman[5] berani bertesis bahwa ilmu
falak (astronomi) sebenarnya merupakan parameter kemajuan sebuah peradaban.[6]
B. Definisi Ilmu Falak
Di dalam al-Quran, kata falak yang bermakna garis edar/orbit disebut
dua kali[7] yaitu:
· وَهُوَ
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّہَارَ وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ كُلٌّ۬ فِى فَلَكٍ۬
يَسۡبَحُونَ (٣٣(
Artinya : Dan Dialah yang telah
menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya
itu beredar di dalam garis edarnya. (al-Anbiyâ’: 33)
· لَا
ٱلشَّمۡسُ يَنۢبَغِى لَهَآ أَن تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّيۡلُ سَابِقُ
ٱلنَّہَارِۚ وَكُلٌّ۬ فِى فَلَكٍ۬ يَسۡبَحُونَ (٤٠(
Artinya: Tidaklah mungkin bagi
matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan
masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yâ-Sîn:
40)
Menurut Ibnu Khaldun (808 H), ilmu falak adalah ilmu yang membahas tentang
pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak, dan
gumpalan-gumpalan awan yang beterbangan.[8]
Menurut al-Khawarizmi, ilmu perbintangan dalam bahasa Arab dinamakan al-Tanjîm,
sedangkan dalam bahasa Yunani dinamakan astronomi, yang mana “astro” artinya
bintang, dan “nomia” artinya ilmu. Sedangkan ilmu hai’ah, adalah ilmu
tentang susunan orbit dan bentuknya, serta bentuk bumi.[9]
Terminologi ‘Ilmu’l
Falak (astronomi) sebenarnya baru muncul pada akhir abad 19 M. Dahulu lebih
popular dengan nama ‘Ilmu’l Hai’ah. Nama itu menunjuk pada suatu aspek
ilmiah yang didasarkan atas observasi, hampir sama seperti astronomi modern.
(Meskipun ‘Ilmu’l Falak modern dapat dikatakan lebih ‘bersih dan suci’
dari ‘Ilmu’l Hai’ah pada zaman dahulu).
Lawan dari ‘Ilmu’l
Hai’ah adalah ‘Ilm Ahkâm al-Nujûm atau ’Ilmu’l Ahkâm.
Pada masa kini, digunakan kata al-Tanjîm untuk menyebut aspek tidak
ilmiah itu.[10]
Al-Farabi (339 H)
memasukkan ‘Ilmu’l Falak atau ‘Ilmu’l Hai’ah dalam warisan budaya
falak kuno ke dalam sebuah tema yang lebih besar yaitu ‘Ilm al-Nujûm
(ilmu bintang). Dari sinilah kemudian ilmu tersebut dibagi menjadi dua macam. Pertama,
‘Ilm Ahkâm al-Nujûm atau yang dapat disebut sebagai al-Tanjîm.
Kedua, ‘Ilm al-Nujûm al-Ta’lîmi[11].
Dalam kebudayaan Arab Islam, ilmu falak dimasukkan ke dalam al-‘Ulûm
al-Riyâdhiyyah[12].
C. Sejarah Astronomi Dunia
1. Mesir Kuno
Sebagai salah satu peradaban tertua di dunia, Mesir kuno memiliki kisahnya
sendiri dengan benda-benda langit. Mereka meyakini bahwa langit itu berbentuk
sapi yang bernama Hathour (tuhan langit). Perutnya dipenuhi oleh
bintang-bintang. Ada pula yang beranggapan bahwa bentuk langit adalah seperti
seorang wanita bertanduk sapi dan lain sebagainya. Namun, takhayul semacam ini
tidak berarti menunjukkan bahwa astronomi bangsa Mesir kuno terbelakang.
Dalam persoalan kalender, mereka memiliki sistemnya sendiri. Bermula dari
peristiwa kemunculan bintang Sirius (Najm al-Syi`râ al-Yamâniyyah) yang
selalu bertepatan dengan banjir Nil. Antara satu kemunculan dengan kemunculan
berikutnya berjarak 365 hari. Kemudian mereka membaginya menjadi 12 bulan, dan
setiap bulan dibagi menjadi 30 hari. Sehingga 30 hari x 12 bulan adalah 360
hari. Adapun kekurangan lima hari, mereka anggap sebagai Ayyâm al-Nasî
(interkalasi). Tidak berhenti pada hitungan hari, mereka pun sudah mengenal jam
sebagai satuan waktu terkecil.[13]
Salah satu keunggulan bangsa Mesir kuno adalah mampu memanfaatkan astronomi
untuk keperluan pembangunan. Kuil Abu Simbel misalnya. Para arsitek di
masa itu dapat mengatur struktur
bangunan kuil agar sinar matahari hanya mampu menembus dinding belakang kuil
(kecuali patung Dewa Ptah, dewa dunia bawah, yang harus ‘selalu berada dalam
kegelapan’) pada dua hari, yaitu 21 Oktober dan 21 Februari. Konon, itu adalah
hari ulang tahun raja dan hari penobatannya.[14]
2.Yunani Kuno
Salah satu cara mengetahui perkembangan astronomi Yunani kuno adalah
menelaah pendapat dari para filosofnya yang terkenal:
1)
Thales.
Berpendapat bahwa asal segala sesuatu adalah air. Ia pun telah meyakini bahwa
bumi itu bulat. Sejarah mencatat bahwa ia mampu memprediksi kapan terjadi
gerhana matahari, seperti pada tahun 585 SM.
2)
Phytagoras.
Berpendapat bahwa alam tersusun dari empat unsur (tanah, air, udara, dan api).
Unsur-unsur ini berbentuk lingkaran. Ia juga berpendapat bahwa bumi ada di
pusat alam. Phytaghoras meyakini bahwa bulan bentuknya menyerupai bumi bahkan
dihuni oleh tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan. Besarnya pun 15 kali lebih besar
dari bumi.
3)
Aristoteles. Dia
melihat alam dari kacamata metafisika. Menurutnya, alam berbentuk lingkaran.
Mengenai bumi, ia meyakini bahwa bumi adalah pusat dari tata surya. Aristoteles
juga mampu membuktikan bahwa bumi itu bulat dengan cara melihat bayangan bumi
pada bulan. Dia juga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa diameter bumi 12.461
mil, meskipun yang diketahui sekarang ini adalah 7920 mil.
4)
Ptolomeus.
Termasuk salah seorang filosof yang terkenal dan memiliki pengaruh besar dalam
dunia astronomi. Tercatat bahwa kitabnya, Almagest, pernah menjadi buku pedoman
astronomi selama beberapa abad. Dalam kitab itu
dikatakan bahwa bumi berada di tengah-tengah langit, menurutnya, kalau tidak
demikian maka salah satu ujung langit akan terlihat lebih dekat dari ujung
lainnya. Ptolomeus berpendapat bahwa bumi adalah pusat tata surya dan
benda-benda langit yang lain seperti matahari, bulan, dan planet-planet beredar
mengelilingi bumi. Keyakinan ini bertahan selama 16 abad.[15]
3.India Kuno
Pergerakan matahari, bulan, dan Jupiter mendapat perhatian khusus dari
bangsa India kuno karena sangat berkaitan dengan sistem waktu mereka. Terutama
pergerakan bulan yang sangat terkait dengan pelaksanaan kurban.[16] Bangsa India tidak dapat
diremehkan kontribusinya dalam kemajuan astronomi Arab-Islam. Al-Biruni (440
H), seorang astronom muslim melakukan riset terhadap peradbaan India yang
dituangkan dalam karyanya Tahqîq mâ li’l Hind min Maqûlah Ma`qûlah
fi’l `Aql am Mardzûlah.
Sejarah juga mencatat bahwa pada masa Khalifah al-Manshur dari Dinasti
Abbasiyah, salah satu buku dari peradaban India yang berjudul “Sind Hind”
diterjemahkan oleh Muhammad bin Ibrahim al-Fazzari. Buku inilah yang
berpengaruh besar dalamperkembangan astronomi Arab-Islam.[17]
4. Eropa
Pemikiran Eropa sempat mengalami stagnasi pada abad
pertengahan. Ada dua hal yang menurut hemat penulis merupakan faktor dari hal
tersebut:
a)
Otoritas gereja. Berbeda dengan ajaran Islam
yang memerintahkan umatnya untuk mengekksplorasi alam semesta, para petinggi
gereja justru mengungkung kebebasan berpikir, sampai pada zaman Renaisans.
Muncullah beberapa ilmuwan seperti Nicolas Copernicus yang mendukung teori
heliosenstris.Dalam bukunya On the Revolutions of the Heavenly
Spheres, ia menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Selain itu,
muncul nama Galileo Galilei yang berpendapat
sama, ia juga pernah melakukan pengamatan terhadap bintik hitam pada matahari.
Namun keduanya tidak beruntung karena harus berurusan dengan gereja. Mereka
dianggap menyalahi ajaran gereja yang ketika itu mendukung teori yang
menyatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya. Khusus Galileo, namanya baru
dibersihkan pada tanggal 21 Desember 2008 dalam pidato Paus Benediktus XVI,
meskipun pada masa Paus Yohannes Paulus II (sekitar tahun 1992), gereja
mengakui bahwa hukuman terhadap Galileo itu salah.[18] Bagi Copernicus, akhirnya
bangsa Eropa memujinya sebagai bapak astronomi modern.[19]
b)
Astrologi. Secara umum, astrologi adalah sebuah
aktifitas untuk mengetahui hal-hal ghaib dengan cara mengamati bintang-bintang.
Segala hal yang terjadi di muka bumi selalu ada kaitannya dengan karakter dan
pergerakan bintang-bintang.[20]
Menurut Carlo Nallino[21], kebanyakan filosof dan pakar katalog
ilmu mengikuti model Aristotelian yang memasukkan astrologi ke dalam salah satu
cabang ilmu alam bersama dengan kedokteran, kimia, tafsir mimpi, dan lain-lain.
Berbeda dengan para ilmuwan muslim seperti al-Farabi, Ibnu Khaldun, bahkan
Ikhwan al-Shafa yang memasukkannya kedalam kategori al-‘Ulûm al-Riyâdhiyyah.
Astrologi tidak memiliki prospek
cerah bahkan cenderung menjerumuskan. Pemikiran astronomi Eropa pernah
mengalami stagnasi pada abad pertengahan akibat astrologi. Sihir, khurafat, dan
ramalan bintang sempat menjadi tren baru di Eropa. Parahnya, pembacaan tidak ilmiah
terhadap pergerakan benda langit ini juga mewabah di gereja, universitas,
apalagi masyarakat pada saat itu. Menurut Abdul Amir Mukmin[22], astrologi pernah menjadi materi
kuliah di universitas-universitas Eropa saat itu.
Sampai
pada suatu ketika, Astronomi
yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim membawa angin segar bagi pemikiran
astronomi dunia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa peradaban barat banyak berguru
kepada para ilmuwan muslim. Bahkan ilmu-ilmu dari peradaban Yunani yang
notabene nenek moyang mereka sendiri diperoleh via-talaqqi dengan
ilmuwan-ilmuwan muslim.
D. Sejarah Astronomi Arab-Islam
Masyarakat Arab
pra-Islam hanya memandang astronomi dan astrologi sebagai sarana memenuhi
kebutuhan hidup, bukan sebagai disiplin ilmu tertentu. Keperluan niaga yang
mengharuskan mereka menempuh ekspedisi di lautan padang pasir tanpa penanda
jalan. Oleh karenanya, keberadaan bintang dan rasi-rasi bintang menjadi hal
yang sangat urgen bagi mereka. Al-Quran pun bersaksi akan hal ini[23].
Bangsa Kaledonia dari
Iraq banyak memberikan pengaruh besar terhadap bangsa Arab dalam hal astronomi.
Dari merekalah bangsa Arab banyak belajar mengenai rasi bintang, posisi bulan
dan matahari, dan banyak hal lainnya. Bahkan salah satu jejak pengaruh Kaledonia
adalah beberapa istilah astronomi seperti nama planet al-Marîkh (planet
Mars) yang ternyata sangat mirip dengan Mardâkh (istilah Kaledonia untuk
planet Mars). Pada akhirnya, bangsa Arab sampai bisa mengetahui bintang-bintang
tertentu secara naluriah. Bahkan, nama-nama ruang angkasa tersebut sampai masuk
ke dalam syair-syair mereka.[24]
Mereka telah terbiasa
dengan berbagai macam observasi. Mulai dari observasi matahari, bulan, dan
bintang sampai gerhana bulan dan matahari. Mereka pun telah mengenal rasi bintang
yang dua belas. Tidak hanya itu, mereka menamai beberapa nama
bintang/rasi bintang yang sampai sekarang masih digunakan dalam diskursus
astronomi dunia, seperti al-Thâ’ir (Altair), Ibth al-Jauzâ’
(Betelgeuse), al-Rijl (Rigel), dan sebagainya.[25] Sekali lagi, unsur mistis
tidak dapat dihindarkan. Diutusnya Nabi Muhammad Saw. menjadi titik awal
menyingkirnya segala bentuk khurafat dari kajian ilmu alam, khususnya
perbintangan. Al-Quran
dan Sunah banyak mengarahkan bangsa Arab Islam ketika itu untuk apa seharusnya
observasi terhadap benda langit dilakukan.
Beralih ke masa Dinasti
Umayyah dan Abbasiyah yang menjadi pionir kajian astronomi Islam. Penerjemahan dan pengembangan ilmu
dari budaya luar mulai menjadi proyek baru umat Islam yang secara resmi dimulai
pada akhir masa Dinasti Umayyah dan awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Pada masa Dinasti
Umayyah, Khalid bin Yazid bin Muawiyah (85 H) terkenal sebagai orang yang
memiliki peran besar terhadap penerjemahan buku-buku dari peradaban luar.
Buku-buku bertema kedokteran, perbintangan, dan kimia adalah yang pertama kali
diterjemahkan. Menurut Sha’id al-Andalus, Khalid sangat kompeten dalam urusan
perbintangan dan astrologi. Hanya saja, tidak dapat dikatakan bahwa era Umawi
adalah awal era astronomi Arab Islam karena penerjemahan pada saat itu masih
terbilang sedikit, atau dengan kata lain, masih sedikit karya-karya astronomi
dari era Umawi yang sampai kepada kita.[26]
Khalifah al-Mansur
dan al-Makmun dari Dinasti Abbasiyah memiliki peran besar dalam kajian astronomi
dan astrologi di kalangan umat Islam. Khalifah al-Mansur (170 H) sebagai
penggemar berat astrologi memulai gerakan keilmuan secara besar-besaran. Era al-Mansur masih belum dapat
dikatakan sebagai era astronomi Arab Islam yang sesungguhnya, mengingat fase
ini lebih menitikberatkan pada penerjemahan buku. Buku-buku tersebut masih
diterjemahkan dan dipelajari apa adanya dari sumber aslinya, belum banyak
dilakukan kritik dari ilmuwan muslim. Memang astrolog yang juga astronom lebih
banyak dijumpai, tapi ada juga astronom yang juga astrolog. Kesimpulannya,
astrologi seperti mukadimah dalam pertumbuhan astronomi, atau penggeraknya.
Sedikit bercerita, di
era al-Mansur astrologi menjadi tren baik di kalangan masyarakat sampai ke
tingkat Negara. Di kalangan masayarakat, rakyat kecil tentu sangat tertarik
dengan hal-hal aneh yang dapat dijumpai pada astrologi. Di istana, seorang
astrolog pun diangkat menjadi seorang penasehat khalifah. Urusan pembangunan
kota Baghdad, banyak mengambil nasehat dari Nubkhat (seorang astrolog)[27].
Perhatian terhadap
astrologi dengan mengabaikan observasi ilmiah astronomi ini terus berlanjut
sampai pada masa penerjemahan buku-buku dari India.[28]
Pada masa Khalifah
al-Makmun (218 H), setelah melalui proses panjang, astronomi Arab Islam mulai
menemukan bentuk terbaiknya. Sebuah prestasi besar yang berhasil dituai adalah
penggunaan antara al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah dengan observasi dan eksperiman
di lapangan. Dari sinilah mulai diungkap sisi-sisi tidak ilmiah astrologi yang
membuatnya perlahan mulai tersingkir digantikan dengan astronomi. Dua hal yang
menjadi faktor keberhasilan hal tersebut adalah pribadi seorang al-Makmun yang
mencintai hal-hal ilmiah dan astronomi tentunya, serta munculnya lembaga yang
membawahi kegiatan keilmuan tersebut.
Khalifah al-Makmun
menjadi sponsor dan mencurahkan perhatian materi maupun non-materi yang sangat
besar bagi pengembangan astronomi Arab Islam. Mulai dibangun observatorium di
berbagai tempat[29],
penemuan berbagai instrumen astronomi, dan proyek pengukuran garis keliling
bumi menjadi salah satu buktinya. Abdul Amir al-Mukmin menggambarkan ia sebagai
orang yang tepat yang muncul di saat yang tepat pula.
Penerjemah ikut
menikmati hal tersebut. Setiap hari Selasa khalifah membagikan hadiah bagi
orang dengan proyek ilmiah dan sastra yang terbaik.
Baitul Hikmah[30]
menjadi lembaga keilmuan terbesar pada saat itu. Memang sudah hilang jejak,
bahkan tidak diketahui dimana tempatnya secara pasti, apalagi bentuknya. Tapi
dari sinilah berbagai observasi yang melahirkan berbagai teori astronomi
dimulai. Almagest dan al-Maqâlât al-Arba’ah yang sempat menjadi muqarrar
induk dalam bidang ilmu alam dan matematika mulai menemui kodratnya sebagai
sebuah teori, alias dikritisi[31].[32]
Salah satu temuan besar lainnya adalah Astrolabe, alat untuk mengukur
ketinggian dan posisi bintang dan benda langit lainnya. Adalah Muhammad bin
Ibrahim al-Fazzari yang menemukannya.
(astrolabe)
E. Pemikiran Astronomi para Ulama
Pernahkah kita berpikir, untuk apa seorang mujtahid mempelajari sains? Cara
terbaik menjawab pertanyaan di atas adalah dengan meneliti bagaimana para ulama
pendahulu menempatkan sains sebagai perangkat ijtihad.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi berbicara masalah hal ini dalam salah satu karyanya,
al-Ijtihâd fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah, ketika membahas syarat seorang
mujtahid. Syarat ketujuh menurut beliau adalah Ma`rifat al-Nâs wa’l Hayâh.
Di dalamnya, beliau berpendapat bahwa seorang mujtahid seyogyanya juga menguasai
wawasan kontemporer termasuk juga ilmu-ilmu seperti psikologi, pendidikan,
sosiologi, ekonomi, sejarah, politik, hukum internasional, dan lain-lain. Begitu
juga dengan ilmu alam seperti biologi, kimia, sains, matematika, dan
sebagainya. Meskipun tidak berarti harus menjadi seorang pakar di dalamnya.
Betapa banyak persoalan yang muncul berkaitan dengan ilmu-ilmu di atas.[33] Termasuk di dalamnya
penentuan awal bulan hijriyah.
F. Astronomi Islam di Masa Kini
Sejalan dengan runtuhnya khilafah, astronomi Islam mengalami kemunduran
hingga akhir abad ke-19. Akhirnya pada awal abad-20, kajian astronomi Islam
mulai dibangkitkan kembali setelah munculnya beberapa ahli falak Eropa yang
melakukan observasi hilal seperti Fotheringham tahun 1910 dan Maunder tahun
1911. Diikuti dengan kemunculan astronom asal Malaysia, Muhammad Ilyas yang concern
dalam kajian kalender Islam internasional, serta menawarkan konsep garis
tanggal internasional. Semenjak itu, astronomi dalam dunia Islam mengalami
perkembangan.
Umat Islam juga beberapa kali mengadakan konferensi demi usaha penetapan
kalender Islam internasional seperti yang dilaksanakan di Maroko 2008 lalu.
Selain itu didirikan lembaga Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP) di
Yordania yang dirintis oleh Muhammad Audah (Muhammad Odeh).[34] Beberapa tokoh pun muncul
seperti Prof. DR. Nidlal Guessom, Khalid Saukat, Jamaluddin Abdurrazik,
Muhammad Shaleh Abdul Azis al-Ujairy, Alireza Mehrani, dan lain-lain.
Di Indonesia, muncul beberapa nama seperti Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari[35], Syeikh Ahmad Khatib
Minangkabau, dan lain-lain. Termasuk pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan,
juga memiliki perhatian dalam ilmu falak. Ada pula KH. Ahmad Badawi, Sa’adoedin
Djambek, dan KH. Wardan Diponingrat yang mempelopori hisab hakiki wujudul
hilal. Setelah generasi mereka lahir H.M. Bidran Hadie, Ir. H. Basith Wahid,
dan Drs. H. Abdur Rachim. Saat ini, kajian ilmu falak dihiasi oleh nama-nama
seperti Prof. DR. H. Syamsul Anwar, MA., Drs. Oman Fathurrahman, Prof. DR.
Susiknan Azhari, Drs. H. Sriyatin Shadiq[36], dan
selanjutnya,...anda...
F. Penutup
Dapat dikatakan bahwa kajian astronomi seluas alam semesta. Memang itu
obyeknya. Jadi, tugas khilafah tidak mudah dan tidak sedikit. Sungguh aneh
apabila seseorang hanya mengambil satu bidang dengan mengabaikan yang lain. Bicara
kemampuan, memang beban tersebut mustahil dipikul oleh satu orang atau satu
kelompok. Ini adalah beban kaum muslimin. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb
Daftar Pustaka
al-Quran al-Karim
Butar Butar, Arwin Juli Rakhmadi, Pengantar Ilmu Falak, Lembaga
Penerbitan PCIM-Kairo, Mesir, cet. II,
2010 M
al-Harari, Muhammad Amin bin Abdullah, Tafsîr Hadâ’iq al-Rauh
wa al-Raihân, Dâr al-Minhâj, Jeddah, Saudi Arabia, cet. III, 1428
H/2008 M
al-Mukmin, Abdul Amir, Makânatu’l Falak wa al-Tanjîm fî Turâtsinâ
al-‘Ilmi, Dâru’l Qalam, Dubai, UEA, cet. I, 1418 H/1997 M
al-Qaradhawi, Yusuf al-Qaradhawi, al-Ijtihâd fî al-Syari`ah
al-Islâmiyyah, Daru’l Qalam, Kuwait, cet. IV, 1432 H/2011 M
al-Razi, Muhammad Fakhruddin, Tafsîru’l Fakhr al-Râzi; al- Musytahir bi al-Tafsîr al-Kabîr wa
Mafâtihi’l Ghaib, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1401 H/1981 M
al-Ruhi, Fauziah Muhammad, Âfâq Falakiyyah, Universitas Kuwait,
Kuwait, cet. I, 1997 M
al-Syafi`i, Husain Muhammad Fahmi, al-Dalîl al-Mufahris li Alfâzhi’l
Qur’ân al-Karîm, Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir, cet. III, 1428 H/2008 M
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah,
MTT-PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Indonesia, cet. II, 1430 H/2009 M
Musa, Ali Hasan, `Ilmu’l Falak fî al-Turâts al-`Arabi, Dâru’l Fikr,
Damaskus ,Syiria, cet. I, 2001 M
http://en.wikipedia.org
[2] Mahasiswa
Fakultas Hadis dan Ilmu Hadis, Universitas al-Azhar, Kairo. Anggota kajian ilmu
falak AFDA-PCIM Kairo-Mesir
[6] Arwin Juli
Rakhmadi Butar Butar, Pengantar Ilmu Falak, Lembaga Penerbitan
PCIM-Kairo, Mesir, cet. II, 2010 M, hal.
ix
[7] Husain
Muhammad Fahmi al-Syafi`i, al-Dalîl al-Mufahris li Alfâzhi’l Qur’ân
al-Karîm, Dâr al-Salâm, Kairo, Mesir, cet. III, 1428 H/2008 M, hal. 604
[8] Arwin
Juli Rakhmadi Butar Butar, Op. Cit., hal. 1. Lihat juga: Ali Hasan Musa,
`Ilmu’l Falak fî al-Turâts al-`Arabi, Dâru’l Fikr, Damaskus ,Syiria,
cet. I, 2001 M, hal. 26
[9] Ali
Hasan Musa, Ibid., hal. 28
[10] Abdul
Amir al-Mukmin, Makânatu’l Falak wa al-Tanjîm fî Turâtsinâ al-‘Ilmi,
Dâru’l Qalam, Dubai, UEA, cet. I, 1418 H/1997 M, hal. 40
[11] Yang kedua inilah yang nantinya
adalah astronomi yang kita kenal saat ini
[12] al-‘Ulûm al-Riyâdhiyyah
dibagi menjadi 4 macam; Geometri, Ilmu Alam, Angka, dan Musik. Ilmu alam inilah
yang akhirnya berevolusi menjadi astronomi modern, dan terus melahirkan beberapa cabang ilmu di
abad 20 M seperti astrofisika, astrometri, radio astronomi, bahkan kosmologi.
[13]
Fauziah Muhammad al-Ruhi, Âfâq Falakiyyah, Universitas Kuwait, Kuwait,
cet. I, 1997 M, hal. 10
[14]
http://en.wikipedia.org/wiki/Abu_Simbel_temples. Akses Sabtu, 7 Juli 2012,
pukul 7:39 clt
[15]
Fauziah Muhammad al-Ruhi, Op. Cit., hal. 17
[17] Arwin
Juli Rakhmadi Butar Butar, Op. Cit¸ hal. 6
[19] Namun,
ada sebuah sejarah yang layak dikaji ulang dan direkonstruksi. Tabel-tabel
astronomi (zij) yang dibuat oleh Copernicus memiliki banyak kemiripan
dengan tabel astronomi milik Ibnu Syathir, seorang astronom muslim yang wafat
tahun 777 H. Lihat: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Op. Cit., hal. 12
[20] Abdul
Amir al-Mukmin, Op. Cit., hal. 49
[21] Seorang orientalis asal Italia yang
juga merupakan profesor di Universitas Mesir (sekarang
Universitas Kairo) dan
Universitas Palermo
[22]
Cendekiawan berkebangsaan Irak, produktif menulis berbagai karya. Di antaranya
adalah Makânatu’l Falak wa al-Tanjîm fî Turâtsinâ al-‘Ilmi yang
diterbitkan oleh Dâru’l Qalam, Kuwait
[23] QS.
al-Nahl : 16. Beberapa ahli tafsir bahkan secara tegas menyebutkan dhamîr
hum yang terdapat pada ayat tersebut kembali kepada kaum Quraisy. Lihat:
Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsîru’l Fakhr al-Râzi; al- Musytahir bi al-Tafsîr al-Kabîr wa
Mafâtihi’l Ghaib, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, 1401 H/1981 M, vol. XX,
hal. 10. Lihat juga: Muhammad Amin bin Abdullah al-Harari, Tafsîr Hadâ’iq
al-Rauh wa al-Raihân, Dâr al-Minhâj, Jeddah, Saudi Arabia,
cet. III, 1428 H/2008
M, vol. XV, hal. 163
[24] Abdul Amir Mukmin, Op. Cit., hal.
123
[26] Abdul
Amir Mukmin, Op. Cit., hal. 139
[27] Hal
ini diceritakan oleh Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khathib al-Baghdadi (463 H)
dalam Târîkh Madînat al-Salâm
[29] Dua observatorium yang terkenal
adalah observatorium al-Syamasiyah dan observatorium Gunung Qasiyun
[30] Beberapa nama Baitul Hikmah
diantaranya Darul Hikmah dan Khazain al-Hikmah
[31] Salah satunya
adalah karya Ibnu Haitsam (430 H) yang berjudul al-Syukûk `alâ Bathlmaiyûs
yang telah ditahkik oleh DR. Abdul Hamid Shabrah dan DR. Nabil al-Syihabi,
diterbitkan oleh, Dâri’l Kutub wa’l Watsâiq al-Qaumiyyah, Mesir. Di dalam karya
al-Biruni, al-Qânûn al-Mas`ûdi juga terdapat kajian mengenai Almagest.
[32] Abdul Amir al-Mukmin, Ibid.,
hal. 157-188
[33] Yusuf
al-Qaradhawi, al-Ijtihâd fî al-Syari`ah al-Islâmiyyah, Daru’l Qalam,
Kuwait, cet. IV, 1432 H/2011 M, hal. 61
[34]
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah,
MTT-PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Indonesia, cet. II, 1430 H/2009 M, hal. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar